kubetno1.net

Kisah Mbah Bendera dan Saksi Bisu Perang Jawa

Tegal -

Tahukah kamu, di Tegal ada sebuah makam pejuang yang tidak banyak dikenal orang. Namanya Mbah Bendera yang jadi saksi bisu Perang Jawa. Bagaimana kisahnya?

Perang Diponegoro atau juga dikenal dengan Perang Jawa yang berlangsung dari tahun 1825 sampai dengan 1830 tidak hanya memunculkan figur-figur yang namanya tercatat dalam catatan sejarah, tetapi juga individu yang tidak terdokumentasikan dalam rekaman sejarah.

Cerita tentang mereka hanya tersebar melalui tradisi lisan, turun temurun, tanpa ada rekaman tertulis, bahkan tidak lengkap. Akibatnya, seiring berjalannya waktu, secara perlahan namun pasti, mereka akan tenggelam dalam ingatan kolektif masyarakat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berbeda halnya dengan tokoh kunci Perang Jawa, seperti Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah, riwayat hidup mereka terdokumentasikan dengan baik dalam rekaman sejarah.

Ini tidak mengherankan, karena mereka memiliki peran sentral dalam perang ini. Tentang fenomena tersebut, menurut saya, itu disebabkan oleh sifat feodal masyarakat Jawa.

ADVERTISEMENT

Hal ini terlihat dari fakta bahwa hanya tokoh-tokoh terkenal yang tercatat dengan baik dalam catatan sejarah, seperti para raja. Demikian pula, dalam karya sastra Jawa, lebih banyak memuji raja tanpa cela.

Mbah Bendera Saksi Bisu Perang Jawa

Mbah Bendera adalah salah satu dari banyak saksi bisu dalam Perang Jawa yang tidak diabadikan namanya dalam catatan sejarah. Makamnya terletak di Pemakaman Umum Kebon Jambe, Desa Jejeg, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal.

Makamnya sangat sederhana sekali, seperti lazimnya makam-makam pada umumnya di Tegal, tidak berkijing. Dulu makamnya hanya berbatu nisan batu.

Tetapi sekarang dibuatkan batu nisan keramik, bertuliskan Mbah Bendera bin Adam, lalu terdapat logo bendera merah putih, dan ada tulisan "Perjuangan Belum Selesai Sampai Kau Isi Kemerdekaan Dengan Karya Nyata".

Tidak ada yang pasti mengetahui identitas sebenarnya dari dia, dan nama "Bendera" hanya merupakan julukan yang diberikan kepadanya oleh Pangeran Diponegoro. Sebab, saat Perang Jawa pecah, tugasnya adalah membawa panji perang Pasukan Diponegoro.

Tidak ada yang bisa dipastikan tentang kapan dan di mana dia dilahirkan, atau bahkan kapan dia meninggal. Namun, disebutkan dari mulut ke mulut bahwa ketika Perang Jawa pecah, dia berusia sekitar 20 tahun.

Selalu Bersama Pangeran Diponegoro

Konon katanya sejak kecil, Mbah Bendera sudah dititipkan oleh orang tuanya untuk nyantri belajar ilmu agama dan kanuragan kepada Raden Mas Ontowiryo, yang merupakan nama asli Pangeran Diponegoro.

Saat masih muda, Mbah Bendera digambarkan sebagai seorang pemuda dengan postur fisik yang tidak besar, namun memiliki kelincahan dan ketangkasan yang mengagumkan. Mungkin itulah alasan mengapa ia dipercayai tugas membawa panji perang Pasukan Diponegoro.

Masih konon katanya juga, seperti lazimnya prajurit waktu itu, Mbah Bendera itu memakai destar (kain untuk ikat kepala) berwarna hitam, sementara dadanya terbuka, dan memakai celana sampai bawah lutut warna hitam. Lalu ada kain melilit rapi di pinggang, dengan corak kain hitam putih.

Pada lilitan kain tersebut, terselip sebuah keris, terletak di pinggang kiri agak ke depan. Sebagai pembawa panji perang Pasukan Diponegoro, membuat Bendera selalu ikut kemanapun Pangeran Diponegoro bergerilya.

Tatkala Pangeran Diponegoro tertangkap oleh Belanda di Magelang dengan tipu muslihat, Mbah Bendera tidak ikut serta dalam rombongan tersebut. Setelah tertangkapnya Pangeran Diponegoro banyak pengikut-pengikutnya kemudian menyingkir ke pedalaman-pedalaman Jawa Timur dan Jawa Tengah. Salah satunya adalah Mbah Bendera.

Ia menyingkir ke pedalaman Jawa Tengah, di kaki Gunung Slamet, tepatnya di tempat yang sekarang bernama Desa Jejeg. Di tempat barunya itu, ia tetap mengabdikan diri ke masyarakat dengan menjadi seorang tabib.

Ia menggunakan nama Bendera, sehingga masyarakat pun menyebutnya dengan nama Mbah Bendera. Makam Mbah Bendera berada di pemakaman umum yang bernama Kebon Jambe di Desa Jejeg, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal

Kebon sendiri berarti kebun dan jambe merupakan nama lain dari pinang. Mengapa diberi nama Kebon Jambe, karena dulu di situ banyak sekali pohon pinang. Jika dikaitkan dengan hal tersebut, maka masuk akal jika Mbah Bendera ini merupakan pengikut Pangeran Diponegoro.

Kita tahu bahwa salah satu kebiasaan dari Pangeran Diponegoro ini suka mengunyah pinang. Ada kemungkinan ketika Mbah Bendera menetap di Desa Jejeg, ia menanam Pohon Jambe atau Pohon Pinang di sekitar lokasi yang menjadi makamnya.

Mereka tidak keberatan meskipun namanya tidak tercatat dalam catatan sejarah, namun tugas kita adalah untuk mendokumentasikannya sebelum mereka dilupakan oleh masyarakat.

(wsw/wsw)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat